Sumber: Kompas.com, Minggu, 5 April 2009
Penulis: Prof Dr Tjipta Lesmana, M.A.
Terbit : Januari 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-22-4095-5
Halaman: 426 / HVS
Dalam sebuah tesisnya, Weber pernah menengarai adanya suatu perubahan
sosial masyarakat. Perubahan itu tampak jelas ketika adanya suatu
perbandingan yang membedakan antara masyarakat zaman sekarang dengan
masyarakat sebelumnya. Menurutnya, perubahan itu tidak lepas dari
perubahan intelektualitas yang dimiliki individu-individu yang terdapat
dalam masyarakat itu sendiri.
Sebagai makhluk sosial, para presiden pun
tidak lepas dari perbedaan antara presiden satu dengan lainnya. Termasuk
dari aspek pemahaman maupun penyikapannya terhadap realitas kehidupan
bangsa-negara. Memang, secara geneologis jabatan presiden yang dipikul
mereka pun tidak jauh berbeda dalam tataran hukum yang mengikat dan
mengatur. Namun, dalam praksisnya, pasti akan muncul sejumlah perbedaan.
Dari perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan sederet
realitas kehidupan bangsa-negara yang tidak mesti sama.
Namun, dalam buku ini, tingkat perbedaan intelektulitas seorang
presiden dengan presiden lainnya, terbukti bukan satu-satunya faktor
yang mempengaruhi perubahan sosial bangsa-negara. Menurut Tjipta
Lesmana, perbedaan tingkat emosional dan spiritual juga memiliki andil
dalam perubahan. Artinya, tingkat perbedaan intelektualitas,
emosionalitas, dan spiritulitas antara Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus
Dur, Megawati, dan SBY, berkorelasi positif dengan perbedaan pola
interaksi sosial mereka. Dari perbedaan interaksi sosial yang berkaitan
erat dengan pola komunikasi inilah yang akhirnya menghasilkan sesuatu
yang berbeda pula. Mulai intrik, lobi politik hingga menyikapi kritik
pun, mereka belum tentu sama dalam satu pola komunikasi politik.
Dalam buku ini, kajian komunikasi politik keenam presiden kita dibagi
dalam enam bab. Bab I, di duduki oleh Soekarno. Dalam bab ini, presiden
pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam,
piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani
menghadapi tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya
seperti manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya,
ia sering menggebrak meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran
dengan suara yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam
(hlm.5). Semua itu sering disampaikannya dalam bahasa, meminjam istilah
Edward T. Hall (1976), yang low context; jelas, tegas, dan tanpa tedeng
aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang
mengulang-ulang.
Berbeda dengan Soeharto, dalam bab II, yang lebih banyak mendengar
dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering menggunakan bahasa yang
high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression management),
teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak jarang
para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang
arti dari kominikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami
komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau
perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan
massa PDI Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27
Juli 1996. Dalam kasus ini, Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab
waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal dari perintah ”atasan”.
Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah
memerintahkan penyerbuan (hlm.67).
Uniknya, dalam kondisi marah atau tidak suka pun, ”The Smiling
General” ini menggunakan bahasa high context pula. Semisal, ketika ada
menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja presiden telah
dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti diperintahkan
segera untuk pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah menggunakan
bahasa low context.
Berbeda lagi ketika Presiden BJ. Habibie marah. Dalam bab III, ia
tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah, ia sering
melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras.
Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia
cepat emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan
didebat. ”Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut”, menurut
informan Hendropriyono (hlm.159).
Dalam bab IV, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah, kadang
menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak lepas
dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang
kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual
tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa
dirugian, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai. ”Oh, begitu, ya?
Ya, Sudah. Enggak usah dipikirin…!”, jawabnya (hlm.199).
Sedangkan Megawati, dalam bab V, setiap marah suka menghardik
korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang menghadiri acara dengan
sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam
acara itu, Roy BB. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat
kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal
pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat
pendendam itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara
menaruh dendam dengan SBY, Megawati mengajukan syarat kepada
penyelenggara acara untuk menghapus acara jabat tangan antar calon.
Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau menghadirinya.
Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati tidak bisa efektif. Ia
lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara. Selama
berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama
sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali
pandangannya lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya,
dalam setiap pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak
membicarakan shopping dari pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa
dan negara. Dalam menghadapi kritik, ia sering tidak tahan, alergi
kritik (hlm.265).
Meski tidak jarang menuai kritik, dalam bab VI, SBY tampak merasa
gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang atau pihak
yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam
setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap
kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam
perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar
menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara
secara to the point. Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering
disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau
memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi membiarkan publik
menebak-nebak sendiri.
Tidak sedikit informasi tentang komunikasi keenam presiden kita dalam
buku ini. Selain unik, bikin tercengang, tertawa, dan kesal, buku ini
memberikan berbagai wawasan terkait kepribadian beberapa presiden yang
pada pemilu tahun ini hendak tampil sebagai calon presiden lagi. Namun,
untuk mengetahui apakah dari sejumlah presiden itu tergolong –meminjam
istilah Kurt Lewin- Authoritarian, Participative, atau Delegatif,
pembaca dipersilahkan menyimpulkan sendiri.***
Thursday, November 29, 2012
Perbandingan Komunikasi Politik Presiden Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment