Monday, December 3, 2012

Demokrasi Kosmopolitan dan Toleransi


Arizka Warganegara
Dosen FISIP Universitas Lampung
Namanya Lim Hock Yuan, seorang sahabat lama dan mungkin bagai seorang abang buat saya. Sudah hampir 5 tahun kami tidak perah bersua. Lim adalah seorang asisten profesor di kampus tempat saya kuliah dulu, seorang Tionghoa, warga negara Malaysia.
Di tengah persoalan gap antaretnis yang cukup tinggi di negaranya, sosok Lim tetaplah seorang nasionalis sejati. Penguasaan bahasa Melayu Lim sangat baik jika dibandingkan dengan orang-orang Tionghoa kebanyakan di negaranya. Selain cerdas, sosok Lim adalah sosok yang sederhana dan bersahaja.
Akan tetapi Lim (begitu saya memanggilnya) selalu tidak lupa untuk mengirimkan e-mail di saat kita merayakan Lebaran. Dan saya pun baru tersadar, ternyata sosok Lim yang selalu mengucapkan selamat Lebaran pertama kali kepada saya walau itu hanya sebatas via e-mail: "Selamat Hari Raya Aidilfitri, Maaf zahir batin. Dengan ingatan tulus ikhlas daripada Lim." Begitulah bunyi e-mail yg selalu Lim kirim ke saya tiap Lebaran. Dan itu Lim lakukan secara konsisten tiap menjelang Lebaran.
Jepang-Bangi-dan Bandar Lampung memisahkan kami untuk bercengkarama, saya teringat pertemuan terakhir sesaat sebelum saya lulus dan segera pulang ke Indonesia, serta Lim akan berangkat penelitian ke Jepang kira-kira empat atau lima tahun yang lalu. Pada saat itu, Lim dan saya selalu berjanji untuk terus bersilaturahmi walaupun jarak dan waktu memisahkan persahabatan kita berdua.
Lim merupakan sosok pemeluk Agama Buddha taat dan seorang yang konsisten menjadi vegetarian dan selalu berbaik hati memberikan saya sebungkus roti stick yangg khusus dimakan oleh para vegetarian.
Sembari berkata "Arizka, ayo makan roti ini. Roti stick ini halal dan bagus untuk kesehatan karena terbuat dari sayuran." Saya agak tersentuh kala itu. Sosok Lim yang penganut Buddha sangat paham akan terminologi dan redaksional halal bagi saudara-saudara muslimnya. Sungguh, sebenarnya upaya yang sulit dilakukan seorang pemeluk agama untuk mencoba memahami ajaran agama lain di luar agamanya. Dan Lim telah dengan ikhlas mencoba memahami terminologi halal dengan baik. Di zaman sekarang, sangat jarang pemahaman dan kesadaran tersebut dimiliki oleh sosok nonmuslim dan Lim memiliki kesadaran itu.
Kembali ke poin di atas, walaupun pada awalnya saya tahu bahwa itu adalah porsi makan siang Lim yg dia berikan kepada saya, di masa awal tradisi "pemberian" itu berat buat saya untuk menolak. Tetapi karena pancaran mata Lim yang begitu ikhlas, akhirnya saya tak kuasa menerima sebungkus roti stick tersebut. Dan akhirnya, seolah menjadi kebiasaan kami, Lim-Arizka dan kunyahan roti stick, seolah menjadi tiga serangkai yang selalu mewarnai diskusi kami.
Kebaikan hati seorang penganut agama yang taat ditunjukkan oleh seorang Lim. Keluwesan Bang Lim bergaul dengan penganut agama yang berbeda darinya, apresiasi keberagaman beragama yang Lim tunjukkan semisal selalu mengucapkan selamat Idulfitri sebelum yang lain mengucapkannya dan ketulusan hatinya untuk menolong sesama manusia adalah manifestasi ketaatan beragama. Dan seharusnya dan idealnya umat Islam memeroleh itu pasca-Ramadan.
Pembelajaran toleransi juga dapat kita peroleh dari sosok Lim, menghargai perbedaan serta bersikap plural terhadap persaudaraan adalah hal positif yang bisa kita kembangkan bagi membentuk bangunan model demokrasi yang lebih kosmopolitan. Sebuah model demokrasi yang paling ideal dalam negara yang plural dari sisi etnis dan agama seperti Indonesia.
Bahkan, pada prinsipnya kemungkinan pernikahan antaretnis sangat digalakkan untuk membantu terhadap perkembagan demokrasi kosmopolitan. Dengan sendirinya, demokrasi kosmopolitan akan berkembang di atas pluralisme yang positif. Kecurigaan antaretnis dan agama dapat diredam dengan mengembangkan sikap hidup yang lebih toleran. Dan itu telah berhasil dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan mengembangkan peradaban madani dalam komunitas negara Madinah lebih dari 15 abad yang lalu.
Hal ini selaras dengan pandangan Anthony Giddens, seorang sosiolog di LSE (London School of Economics), juga menyarankan bagi mengembangkan sikap hidup yang plural bagi membangun demokrasi yang kosmopolitan. Dan menurut hemat saya, Islam di Indonesia dapat menjadi contoh terhadap perkembangan demokrasi yang kosmopolitan tersebut. Indikatornya mudah saja, bagaimana respons perayaan Lebaran dari penganut ajaran selain Islam terhadap umat Islam saya rasa layak kita ajukan sebagai sebuah bukti demokrasi kosmopolitan telah berkembang di Indonesia.
Pada akhirnya kesemua itu, apa yang Lim tunjukkan telah memberikan kesadaran hakiki kepada kita bahwa dunia ini akan menjadi damai manakala semua pemeluk agama menyakini dan menjalankan perintah agamanya secara ikhlas dan tidak mengintervensi satu dan yang lainnya. Toleransi juga merupakan kata kunci bagi mengembangkan demokrasi kosmopolitan yang kita cita-citakan bagi mencapai masyarakat yang lebih beradab dan sejahtera.

0 comments:

Post a Comment