Arizka
Warganegara
Dosen FISIP Universitas Lampung
Namanya Lim Hock Yuan, seorang
sahabat lama dan mungkin bagai seorang abang buat saya. Sudah hampir 5 tahun
kami tidak perah bersua. Lim adalah seorang asisten profesor di kampus tempat
saya kuliah dulu, seorang Tionghoa, warga negara Malaysia.
Di tengah persoalan gap antaretnis
yang cukup tinggi di negaranya, sosok Lim tetaplah seorang nasionalis sejati.
Penguasaan bahasa Melayu Lim sangat baik jika dibandingkan dengan orang-orang
Tionghoa kebanyakan di negaranya. Selain cerdas, sosok Lim adalah sosok yang
sederhana dan bersahaja.
Akan tetapi Lim (begitu saya
memanggilnya) selalu tidak lupa untuk mengirimkan e-mail di saat kita
merayakan Lebaran. Dan saya pun baru tersadar, ternyata sosok Lim yang selalu
mengucapkan selamat Lebaran pertama kali kepada saya walau itu hanya sebatas
via e-mail: "Selamat Hari Raya Aidilfitri, Maaf zahir batin. Dengan
ingatan tulus ikhlas daripada Lim." Begitulah bunyi e-mail yg
selalu Lim kirim ke saya tiap Lebaran. Dan itu Lim lakukan secara konsisten
tiap menjelang Lebaran.
Jepang-Bangi-dan Bandar Lampung
memisahkan kami untuk bercengkarama, saya teringat pertemuan terakhir sesaat
sebelum saya lulus dan segera pulang ke Indonesia, serta Lim akan berangkat
penelitian ke Jepang kira-kira empat atau lima tahun yang lalu. Pada saat itu,
Lim dan saya selalu berjanji untuk terus bersilaturahmi walaupun jarak dan
waktu memisahkan persahabatan kita berdua.
Lim merupakan sosok pemeluk Agama
Buddha taat dan seorang yang konsisten menjadi vegetarian dan selalu berbaik
hati memberikan saya sebungkus roti stick yangg khusus dimakan oleh para
vegetarian.
Sembari berkata "Arizka, ayo
makan roti ini. Roti stick ini halal dan bagus untuk kesehatan karena
terbuat dari sayuran." Saya agak tersentuh kala itu. Sosok Lim yang
penganut Buddha sangat paham akan terminologi dan redaksional halal bagi
saudara-saudara muslimnya. Sungguh, sebenarnya upaya yang sulit dilakukan
seorang pemeluk agama untuk mencoba memahami ajaran agama lain di luar
agamanya. Dan Lim telah dengan ikhlas mencoba memahami terminologi halal dengan
baik. Di zaman sekarang, sangat jarang pemahaman dan kesadaran tersebut
dimiliki oleh sosok nonmuslim dan Lim memiliki kesadaran itu.
Kembali ke poin di atas, walaupun
pada awalnya saya tahu bahwa itu adalah porsi makan siang Lim yg dia berikan
kepada saya, di masa awal tradisi "pemberian" itu berat buat saya
untuk menolak. Tetapi karena pancaran mata Lim yang begitu ikhlas, akhirnya
saya tak kuasa menerima sebungkus roti stick tersebut. Dan akhirnya,
seolah menjadi kebiasaan kami, Lim-Arizka dan kunyahan roti stick,
seolah menjadi tiga serangkai yang selalu mewarnai diskusi kami.
Kebaikan hati seorang penganut agama
yang taat ditunjukkan oleh seorang Lim. Keluwesan Bang Lim bergaul dengan
penganut agama yang berbeda darinya, apresiasi keberagaman beragama yang Lim
tunjukkan semisal selalu mengucapkan selamat Idulfitri sebelum yang lain
mengucapkannya dan ketulusan hatinya untuk menolong sesama manusia adalah
manifestasi ketaatan beragama. Dan seharusnya dan idealnya umat Islam memeroleh
itu pasca-Ramadan.
Pembelajaran toleransi juga dapat
kita peroleh dari sosok Lim, menghargai perbedaan serta bersikap plural
terhadap persaudaraan adalah hal positif yang bisa kita kembangkan bagi
membentuk bangunan model demokrasi yang lebih kosmopolitan. Sebuah model
demokrasi yang paling ideal dalam negara yang plural dari sisi etnis dan agama
seperti Indonesia.
Bahkan, pada prinsipnya kemungkinan
pernikahan antaretnis sangat digalakkan untuk membantu terhadap perkembagan
demokrasi kosmopolitan. Dengan sendirinya, demokrasi kosmopolitan akan
berkembang di atas pluralisme yang positif. Kecurigaan antaretnis dan agama
dapat diredam dengan mengembangkan sikap hidup yang lebih toleran. Dan itu
telah berhasil dilakukan oleh Rasulullah saw. dengan mengembangkan peradaban
madani dalam komunitas negara Madinah lebih dari 15 abad yang lalu.
Hal ini selaras dengan pandangan
Anthony Giddens, seorang sosiolog di LSE (London School of Economics), juga
menyarankan bagi mengembangkan sikap hidup yang plural bagi membangun demokrasi
yang kosmopolitan. Dan menurut hemat saya, Islam di Indonesia dapat menjadi
contoh terhadap perkembangan demokrasi yang kosmopolitan tersebut. Indikatornya
mudah saja, bagaimana respons perayaan Lebaran dari penganut ajaran selain
Islam terhadap umat Islam saya rasa layak kita ajukan sebagai sebuah bukti
demokrasi kosmopolitan telah berkembang di Indonesia.
Pada akhirnya kesemua itu, apa yang Lim
tunjukkan telah memberikan kesadaran hakiki kepada kita bahwa dunia ini akan
menjadi damai manakala semua pemeluk agama menyakini dan menjalankan perintah
agamanya secara ikhlas dan tidak mengintervensi satu dan yang lainnya.
Toleransi juga merupakan kata kunci bagi mengembangkan demokrasi kosmopolitan
yang kita cita-citakan bagi mencapai masyarakat yang lebih beradab dan
sejahtera.
0 comments:
Post a Comment