Arizka
Warganegara
(Dosen FISIP Universitas
Lampung)
Terdapat
dua hal yang menarik untuk diikuti menilai kiprah pasangan SBY-JK (Presiden dan
Wapres RI), dalam beberapa bulan terakhir, setidaknya dua langkah politik yang
menurut saya layak untuk dicermati apakah hal ini akan menjadi sebuah insentif
politik seperti SBY katakan kepada media beberapa hari yang lalu atau mungkin
hal ini adalah sebuah langkah riil
politik yang merupakan wujud dari keseriusan SBY-JK untuk menjalankan roda
pemerintahan bagi pencapaian kesejahteraan rakyat.
Dua
hal yang saya maksudkan disini adalah, Pertama,
mengenai keinginan pemerintah merespon positif turunnya harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) dengan juga akan menurunkan harga BBM dipasaaran, sebuah langkah
yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh rezim yang berkuasa di Indonesia
selama ini. Kedua, adalah mengenai
ditetapkannya Aulia Pohan, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).
Beberapa
media baik lokal ataupun nasional beberapa hari ini menurunkan headline mengenai kembali turunnya harga
BBM, selaras dengan hal tersebut ternyata ratting
Pak SBY kembali naik sebagai kandidat kuat Capres 2009, dua lembaga survey
baru-baru ini, Reform Institute dan Cirus Surveyor Group kembali menempatkan sosok
SBY sebagai capres yang paling electable.
Merujuk survey Cirus
Surveyors Group SBY
masih teratas dengan perolehan 36,99 persen, Megawati 16,2%, Sri Sultan 6,47%,
Prabowo 5,2%, Wiranto 4%, dan Sutiyoso di posisi terbawah dengan perolehan
0,35% sebagai Capres 2009.
Reform Institute juga misalkan menempatkan SBY sebagai
Capres paling electable, dengan
angka SBY 42,18%, Megawati Soekarnoputri
16,67%, Sri Sultan HB X 10,548%, Prabowo Subianto 7,88%, Wiranto 4,33%, Hidayat Nurwahid 2,06%,
Amien Rais 2,06%, Jusuf Kalla 1,49%, Akbar Tandjung 0,87%, Abdurrahman Wahid
0,83% Sutiyoso 0,17%, Surya Paloh 0,17%, Lain-lain 10,81%.
Walaupun survey kedua lembaga ini memempatkan profil
SBY sebagai yang terdepan tapi ini harus diingat survey ini sifatnya sangat
dibatasi dengan waktu, kemungkinan pergerakan atas elektabilitas dan
popularitas seseorang kandidat dapat saja bergerak naik dan turun. Survey akan
sangat valid ketika dilakukan minimal sebulan menjelang pilpres dan pada bulan
maret, april, mei dan juni adalah posisi genting buat pemerintahan SBY-JK,
ditambah lagi apalagi jika prediksi para pengamat ekonomi yang menyatakan
gelombang PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) akibat krisis finansial di Amerika
Serikat baru akan terjadi pada bulan-bulan tersebut.
Dalam beberapa hal, hasil polling terhadap elektabilitas
dan popularitas seseorang kandidat incumbent
sangat dipengaruhi kinerja ekonomi yang bersentuhan langsung dengan
kesejahteraan rakyat diakhir masa jabatan. Dan jika gelombang PHK pada medio
bulan-bulan tersebut benar terjadi maka hal ini akan menjadi semacam “Tsunami” Politik bagi karir politik SBY-JK.
Hikmah dari
Parodi Republik BBM
Pada bagian lain sebagai sebuah kontemplasi parodi
politik, saya teringat dengan sebuah acara yang dahulu sempat ditayangkan oleh
salah satu stasiun televisi swasta setiap senin malam, acara tersebut berjudul ”Republik BBM” , acara brilian yang
mampu disajikan dengan cerdas oleh Efendi Ghazali, Almarhum Taufik Savalas,
Kelik dkk-nya. Dalam pandangan Saya sesungguhnya acara ini mampu untuk
memberikan kontemplasi kontemporer terhadap keadaan sosial politik Indonesia kontemporer.
Terdapat kesamaan antara antrian, naik-turun harga BBM
yang kita alami sekarang dengan acara republik BBM tersebut setidaknya dari
pilihan kata yang digunakan yaitu BBM. Akan tetapi jika BBM dalam konteks kita
sekarang adalah Bahan Bakar Minyak yang kita sudah sangat mengetahui fungsinya
untuk menggerakkan mesin seperti mobil, motor dan lain-lainnya.
Dalam terminologi almarhum Taufik Savalas dan Kelik sebagai
Presiden dan Wakil Presiden kala itu, BBM bermakna ”Benar-Benar Mabok”. Ada dimensi filosofis kenapa term BBM yang digunakan, andai Saya
boleh mengira-ngira mungkin saja yang
dimaksud BBM oleh almarhum Taufik dan Kelik adalah sebuah sindiran bagi negara
tetangganya yang sudah sepuluh tahun menjalankan reformasi bukannya tambah
segar akan tetapi tambah mabok.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah benar negara
tetangganya Republik BBM sudah benar-benar mabok? Banyak aspek yang menjadi
bisa menjadi bahan renungan terhadap hal tersebut dalam konteks sosial-ekonomi misalkan mulai dari naiknya-turunya
BBM, Kerusuhan Rasial, kasus Gizi Buruk sampai dengan busung lapar yang melanda
negara tetangga Republik BBM tersebut.
Dalam
konteks politik kelanjutan demokratisasi di
Indonesia setidaknya menimbulkan sebuah pesimisme bahkan sebagian besar
pengamat dengan berani mengatakan bahwa transisi demokrasi ini bukannya akan
berakhir dengan demokrasi yang maju akan tetapi berakhir model-model
elektokrasi (sebuah paham pemilihan umum-isme), sebagai bukti misalnya setiap
lima tahun sekali pesta-pesta pemilihan umum baik untuk pemilihan anggota
legislatif pusat, propinsi, kab/kota, pemilihan presiden sampai dengan bupati
dan walikota selalu diwarnai dengan hal-hal yang tidak mendidik. Sebagai contoh
terbaru misalkan bagaimana kerusuhan yang disebabkan oleh ketidakpuasan atas
hasil Pilkada di Tuban dan beberapa daerah lain seperi Maluku, Sulsel dan
Sulbar mewarnai hari-hari kelam transisi demokrasi di Indonesia.
Pertanyaan diatas seolah-olah terjawab dalam sebuah
diskusi mengeritisi sewindu reformasi yang digagas oleh harian kompas dengan
judul menggagas Visi Indonesia 2030, dua tahun lalu, medio tahun 2006. Diskusi
terbatas ini cukuplah menjadikan sebuah kontemplasi nalar yang baik. Dalam
diskusi tersebut, mantan ketua PP Muhammadiyah Buya Syafii Ma’arif mengatakan
bahwa kita memerlukan strong leadership yang
berani mengambil tindakan dengan cepat dan tegas.
Penyataan Buya tersebut seharusnya dapat menjadi
otokritik yang sehat terhadap pemerintahan SBY-JK, bahkan dengan kelakarnya
Buya Syafii mengatakan bahwa bukan saja sipil yang lemah namun militer-pun ada
juga yang lemah. Buya Syafii mungkin tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa SBY
adalah tipikal militer yang lemah namun kenyataan kemudian mendukung bahwa kita
sekarang sangat memerlukan strong
leadership itu tadi.
Saya-pun kemudian kembali lagi teringat dengan parodi
Republik BBM, andai saja sang presiden kita setenang Presiden Republik BBM
takkala menghadapi persoalan, niscaya masalah-masalah di negeri ini akan dengan
mudah terselesaikan, ketenangan Sang Presiden Republik BBM takkala menghadapi
persoalan mungkin bisa Pak SBY tiru, mudah-mudahan?
0 comments:
Post a Comment