Sunday, November 18, 2012

TRANSFIGURASI HMI DI TENGAH POSTMODERNISME (Refleksi dan Proyeksi Gerakan HMI Menyambut Milad Ke-64 Tahun)


Oleh :
MOH.RIZKY GODJALI
Ketua Umum HMI Komsospol Unila


Lafran Pane sang pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mungkin akan meratap tangis di alam yang berbeda ketika melihat organisasi yang menginjak 64 tahun ini tak kunjung beranjak dari keterpurukannya terbuai oleh kenikmatan kekuasaan. di Kampus Sekolah Tinggi Islam (sekarang UII Yogyakarta), 14 Rabiulawal 1366 H yang bertepatan dengan 5 Februari 1947 HMI berdiri atas keterpanggilan sekelumit mahasiswa yang tertindas oleh tekanan moral dan pemikiran kolonial pada waktu itu. Kini lebih dari setengah abad, HMI masih tegap berdiri menyajikan berbagai cerita yang bersifat konstruksif bagi negeri ini di satu sisi. Namun di sisi lain ia meninggalkan dampak destruktif bagi perkembangan gerakan kemahasiswaan yang selanjutkan akan menyentuh gerakan sosial secara general.

Di usianya yang  jauh melampaui kematangan suatu organisasi pada umumnya, HMI telah melewati beberapa fase yakni fase perjuangan fisik (1947-1949), fase pertumbuhan dan konsolidasi bangsa, fase trasnsisi orde lama ke orde baru, fase pembangunan dan modernisasi bangsa, serta fase pasca orde baru. Setiap fase yang menyiratkan suatu bentuk ujian menyebabkan  HMI semakin kuat bertahan dan adaptif. Pascareformasi saat ini HMI dihadapkan pada kompleksitas masalah yang berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Era persaingan bebas dan perkembangan teknologi informasi mau tidak mau telah memaksa sejumlah gerakan organisasi kemahasiswaan termasuk HMI untuk segera berbenah diri. Reformulasi gerakan mutlak diperlukan dalam rangka menyambut berubahnya konstelasi global yang berimplikasi pada kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat ini.

Ironisnya kini disaat organisasi lain mulai sadar dan bersegera diri meninggalkan usangnya tawaran gerakan perubahan sosial, HMI justru berada di titik nadir kenyaman melihat guratan sejarah keberhasilan para pendahulunya. Kenyamanan inilah yang membuat HMI terkukung oleh pemikiran pragmatis politis dan cenderung bergantung kepada kemapanan sang leluhur (senior) tanpa kemandirian. Jika terus dibiarkan kondisi seperti ini maka hanya ada dua pilihan atas keberlangsungan organisasi mahasiswa tertua di Indonesia ini. Tetap bertahan dengan buaian rayuan kedudukan dan sejumlah materi di luar simetri gerakan mahasiswa, atau musnah karena tak kuat menahan arus perubahan zaman

Pilihan tersebut tak berlebihan jika kita merefleksikan apa yang telah diperbuat HMI dalam dasawarsa terakhir. Tak ada signifikasi perubahan yang bisa dilakukan untuk bangsa dan kehidupan masyarakat yang juga ditimpa krisis multidimensi. Alih-alih ingin berkarya untuk mewujudkan masyarakat sejahtera lewat gagasan perubahan. HMI malah sibuk dengan agenda ceremony mereaksi sekedarnya wacara nasional dan kedaerah, sibuk menyelesaikan konflik perebutan kekuasaan internal, dan sibuk mengurus kadernya yang tak kunjung cerdas, kritis, islami, dan mandiri. Kemunduran HMI yang dirasa saat ini akibatnya belum mampunya memenuhinya kebutuhan dan kepentingan mahasiswa (student need & student interes ) abad modern.

HMI belum tersadarkan bahwa masalah yang menimpa dunia kemahasiswaan sekarang berbeda dengan 20-30 tahun kebelakang, dimana HMI menduduki capaian prestasi gerakan. HMI banyak diminati mahasiswa karena budaya intelektualnya yang terjaga dan mengakar bagi seluruh kader militannya. Kultur membaca, berdiskusi, lalu menelurkan pemikiran lewat tulisan menjadi menu wajib bagi HMI dalam menapaki fase demi fase perjalanan organisasi.  Tak heran jika HMI mampu mencetak kader umat karena memperjuangkan kepentingan masyarakat yang dikebiri penguasa, serta menjadi kader bangsa karena misinya setelah purna dari HMI tetap dijalankan untuk meneguhkan keutuhan NKRI dan mensiyarkan islam. Keberhasilan alumni HMI yang ada di setiap sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara di semua tingkatan hingga level yang tinggi adalah berkah dari sistem pengkaderan yang kuat di HMI yang menekankan kebebasan berfikir namun tetap bersendikan nilai universal islami. HMI HMI mampu membuat mahasiswa kala itu membutuhkan aktualisasi berorganisasi selain mengejar target akademik. HMI selalu menjadi garda terdepan mengusung berubahnya peradaban rakyat ke arah lebih baik tanpa intervensi pemangku kebijakan. Bahkan HMI menjadi satu-satunya elemen mahasiswa yang berani melawan kedigdayaan PKI yang mesra memeluk negara di tahun 1960-an.

Paham mengenai situasi zaman kekinian yang mengalami perubahan di semua lini, HMI harus menstop gerakan paradoks. Orde paling baru yang melingkupi kehidupan masyarakat saat ini adalah kemasan globalisasi, kapitaslistik, dan individualistik. Postmodernisme menjadi wacana kontemporer yang seakan timbul nyata di tengah masyarakat. Menurut Kevin O’Donnell Postmodernisme merupakan kritik terhadap arus modernism yang semakin menggusur humanisme dari manusia sendiri, melahirkan materialisme dan konsumerisme yang merusak lingkungan dan menguras semangat serta nilai masyarakat. Ia (Posmodernisme) bereaksi terhadap inti pilsafat modernism. Sedangkan seorang tokoh pemikir radikal post modernism, Fucault mengatakan bahwa budaya itu dikonstruksi oleh subjeknya (manusia) yang bebas, tidak lagi oleh agama dan masyarakat. Intinya ialah kebebasan. Inilah semangat yang tampak akhir-akhir ini setelah modernisme. Dua aliran utamanya ialah dekonstruksionisme dan relativisme.

Semangat postmodernisme mencoba mendekonstruksi kembali konstruksi-konstruksi yang ada namun tanpa memberikan konstruksi yang baru sebagai alternatif, karena bagi kaum post modernisme segala sesuatu adalah relatif, atau di dunia ini tidak ada yang mutlak. Suatu konstruksi (baik konstruksi pemikiran) akan terus dipertanyakan tentang kebenarannya, dan bisa berubah-ubah setiap saat, karena mustahil menemukan kebenaran yang hakiki.

Gejala postmodernisme juga melanda hingar-bingarnya dunia kemahasiswaan. Degradasi moral dan intelektual mengisi ruang kosong kejumudan mahasiswa. Aktivitas di dunia maya, pergaluan bebas, hantaman pasar psikotropika, dan pergulatan struktur maupun suprastruktur politik menjadi tatangan berat yang harus dihadapi organisasi macam HMI. Sebab itu, HMI perlu merekonstruksi basis gerakannya agar kembali adaptif atas student need dan  student interest lewat kultur intelektual dan kritis berfikir.

Beberapa langkah strategis yang harus dilakukan HMI diantaranya adalah pertama, memperkuat fondasi gerakan. HMI masyur dengan sistem pengkaderan yang mampu berubah pola fikir, pola sikap, dan pola tindak kader menjadi berkarakter yang tadinya awam dan penuh keluguan. Basic gerakan HMI adalah di pengkaderan, maka sistem pembinaan kader wajib untuk diperbaiki dan disesuai dengan kebutuhan zaman.
Program kedua adalah HMI mulai mencanangkan format back to campus islamic. Ranah perjuangan HMI yang nyata ada di kampus. Maka HMI harus dapat menyemarakan dunia kampus dengan kegiatan yang bersifat menggali potensi diri mahasiswa.HMI seoptimal mungkin dapat menggas dan mengawal semangat demokrasi di kehidupan kampus. Kader HMI harus tanggap terhadap perkembangan teknologi informasi karena keunggulan informasi menjadi modal di tengah persaingan kompetisi. Nilai islam yang menaungi gerakan HMI di kampus lebih mengedepankan nilai universal, yakni bahwa islam sebagai jalan lurus Rahmatan Lil’alamin bisa diterima oleh kondisi mahasiswa yang pluralis.

Langkah selanjutnya adalah merubah beberapa paradigma berfikir dan bertindak oleh HMI yakni paradigma tradisi lisan berubah menjadi tradisi tulisan. Tradisi konservatisme terhadap kepentingan senior berubah menjadi tradisi revolusioner positif. Tradisi bergantung pada pendanaan alumni berubah menjadi kemandirian organisasi. Paradigma dari sekedar reaktif atas wacana berubah menjadi proaktif menyikapi yang disertai solusi realistis.

Kemudian, langkah keempat adalah meningkatkan kinerja organisasi yang bingaki dalam disiplin etos kerja kader. Peningkatan kerja ini dibarengai oleh konsolidasi semua elemen pembangun HMI. Jika keseluruhan langkah tersebut bisa dijalankan, lambat laun peran, fungsi, dan status HMI  sesuaikhittah dapat dilaksanakan. HMI muncul sebagai pembaharu berkat ketajaman analisis dan respon yang tepat atas dentuman postmodernisme yang semakin kencang Citra HMI yang kian meluntur akibat ulah sebagain oknum kader dan alumninya bisa tergantikan oleh citra tunggal HMI yaitu citra yang baik. Hal terpenting adalah bagaimana HMI kembali menelurkan gagasan konstruktif bagi perubahan Indonesia kedepan. Tujuan mulia HMI mewujudkan masyarakat adil makmur yang dirihdai Allah swt melalui tanggungjawab kadernya sebagai insan akademis, pencipta, dan pengabdi bisa segera terealiasi karena HMI memiliki doktrin memperjuangkan kaum mustadha’fin

0 comments:

Post a Comment