Oleh : Ramadhan Nawawi
Sekretaris Umum HMI Komsospol Unila
Manusia
sebagai makhluk Tuhan merupakan makhluk yang mampu berdiri diatas kemerdekaan
pribadi sebagai individu (homohomonelupus),
susila dan mahkluk sosial (homohomonesosius)
yang selalu hidup berkelompok, selaras, seimbang, dan saling berhubungan satu
sama lain atau berkomunikasi, dan saling mempengaruhi. Hidupnya selalu
bergabung dalam satu ruang sosial atau medan sosial. Maka tingkah lakunya itu
selalu menjurus pada kader-referensi kemanusiaan, mengarah pada aku-lain; yaitu
ada dalam kaitan relasi antar manusia.
Setiap
individu memang
merupakan satu subjek atau substansi bebas yang berdiri sendiri, dan diperuntukkan diri sendiri. Tetapi selamanya
dia tidak pernah bisa lahir terlempar sendiri di dunia, dan tidak bisa tegak
berdiri sendiri. Sebab selama-lamanya dia adalah bagian dari kelompoknya, dan
menjadi “onderdil” dari satu masyarakat. Bahkan dia menjadi bagian dari
beberapa kelompok sekaligus. Dia hidup ditengah lingkungan, di tengah kaum,
suku dan bangsanya. Karena itu dia lebih banyak ditentukan secara sosial oleh
lingkunganya. Jadi, ada proses determinasi sosial . Yaitu dipengaruhi oleh orang lain dan oleh
lingkungannya, dan juga ia mempengaruhi orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Manusia
yang membentuk sebuah komunitas sosial
atau kesatuan (unity), bergerak secara bersamaan, dan saling
berinteraksi. Dimana ada individu-individu yang berinteraksi sehingga membentuk
sebuah struktur sosial yaitu masyarakat. masyarakat sendiri berasal dari bahasa
arab ‘musyarak’. Labih abstrak lagi
masyarakat menghubung-hubungkan kedalam entitas-entitas. Masyarakat adalah
sebuah interdependen (saling ketergantungan satu sama lain). Umumnya masyarakat
ditujukan kepada komunitas yang hidup berkelompok dan berdampingan secara
teratur. Kemudian membuat norma-norma
tau aturan yang disepakati bersama. Baik norma saling tolong menolong,
kejujuran, dan komitmen bersama.
Makhluk
yang membentuk komunitas masyarakat ini, merupakan cikal bakal atau agen dalam
perubahan. Melalui paradigma humanisme kelompok akan mendorong kepada perubahan
sistem sosial berdasarkan kritisasi-kritisasi masyarakat terhadap dinamika
sosial. Karena perubahan sosial merupakan warna dalam kehidupan berkelompok
yang timbul akibat banyak faktor, baik intenal maupun ekstenal. Perubahan
sosial pun bukan hanya mendorong terciptanya sebuah perubahan yang bergerak
maju, melainkan ada juga perubahan yang bergerak mundur.
Perkembangan
zaman mengarah kepada realitas hidup dalam masyarakat modern. Bermacam-macam
kelompok sosial, organisasi, badan pemerintah, usaha-swasta, perkumpulan,
gerakan-gerakan sosial, partai politik, lembaga kemasyarakatan, usaha
kewiraswastaan dan seterusnya, masing-masing mempunyai interest, tujuan, dan
daerah operasi sendiri-sendiri. Maka persaingan, kompetisi, dan konflik
merupakan realitas nyata yang banyak terjadi di tengah masyarakat modern. Hal
ini akan menimbulkan pergeseran sistem sosial yang memaksa masyarakat mengubah
tatanan sosial lama dengan tatanan sosial yang diharapkan masyarakat. Baik itu
perubahan sosial yang bergerak maju maupun bergerak mundur.
Kondisi
sosial hari ini mengungkapkan sebuah fakta yang tak seorang pun mampu
menampiknya, yaitu terciptanya dunia ketiga. Dimana didalam dunia ketiga
merupakan sebuah dunia yang didalamnya terdiri dari struktur-struktur yang
dibangun melalui kecanggihan teknologi. memasuki pertengahan abad ke-21 dunia
bagaikan sebuah kampung yang kecil. Nuansa persaingan sangat terasa, sehingga
menggiring manusia untuk saling berkompetisi satu sama lain. Tidak ada lagi
kehidupan secara bersama, selaras dan seimbang didalam sistem masyarakat. Yang
ada hanya bagaimana manusia satu dengan yang lainnya saling bersaing untuk
memenui hasrat masing-masing individu. Era modernisme ini diasosiasikan oleh
masyarakat dengan munculnya internet pada tahun 1990-an. Periode ini juga
ditandai adanya kekacauan dibelahan dunia lain (Francis Fukuyama:2000).
Modernisasi
ditandai juga dengan adanya penguasa pasar (capital),
setiap pembangunan telah menghasilkan efek yang sama dimasyarakat. Setiap orang
terjerat dalam keterggantungan suatu jaringan baru terhadap komoditas yang
mengalir keluar dan kedalam bentuk mesin-mesin, pabrik-pabrik, klinik-klinik,
studioTv atau lembaga pemikir yang sama. Nilai-nilai kebudayaan yang dibangun
diatas fondasi kebersamaan seakan terasa hambar dan hanya menjadi sisa-sisa
tradisional. Kejahatan dan kekacauan sosial meningkat, yang lebih parah konflik
tersebut justru didominasi oleh golongan muda, dengan klasifikasi umur antara
15-25 tahun. Ivan Illich (Menggugat Kaum Kapitalis: 1978).
Dinamika
perubahan sosial modernisme atau dunia ketiga, manusia hanya dinilai sebatas
sejauh mana manusia mampu menghasilkan sesuatu. Fenomena ini akhirnya menggugurkan
norma-norma yang disepakati oleh masyarakat pada masa lalu yang dianggap baik.
Karena mengandung semangat kebersamaan, kejujuran, pemenuhan tugas dan komitmen
bersama. Selain itu, era modernisasi memunculkan sebuah kemerosotan nilai-nilai
yang dapat kita lihat didalam keseharian hidup masyarakat yang lebih suka
menghakimi sendiri maling atau copet yang tertangkap dengan cara membakar diri
mereka, melakukan amuk massa dalam menyelesaikan persoalan antar kelompok, atau
melakukan aksi teror terhadap suatu kelompok akibat kecewa terhadap kelompok
tertentu. Demikian juga, kasus-kasus yang melibatkan pihak birokrasi yang tidak
pernah bisa diselesaikan secara jelas dan accountable
membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada lembaga-lembaga negara.
Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan
teknologi dan dengan cara berpikir yang sekuler dan kapital – liberalisme,
ternyata telah membawa petaka berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan
ancaman terhadap kehidupan dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana
dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan manusia dengan
mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama
yang sucilah lama tidur lelap karena dipandang hanya sebagai candu
yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika pada
masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif, dengan
adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan tentunya agama tersebut dapat memainkan
perannya kembali.
Agama semestinya tidak lagi bertarung
pada idiom kebenaran subyektif, yang hanya dapat memperkeruh suasana.
Masyarakat menantikan sentuhan pencerahan dimana agama menjadi jalan keluar
saat masyarakat telah hilang kepercayannya kepada pemerintah dan aktor-aktor
yang mereka anggap dapat menyelesaikan persoalan kebangsaan dan keumatan.
Peperangan antar kelompok aliran, suku, ataupu ras, perdebatan agama mana yang
benar sudah saatnya dihentikan. Ada baiknya energi terebut dialihkan untuk
menyelesaikan keumatan.
Kehadiran agama sudah seharusnya
membahas tentang bagaimana mengkonstruksi pemikiran umat. Bukan dengan maksud
untuk memprofokasi. Perbedaan antara agama satu dan lainnya itu tidak prinsip,
namun bagaimana kemudian mendorong agama-agama yang ada di Indonesia untuk
bersama melakukan pembaharuan pemikiran masyarakat ditengah gencarnya
modernisasi yang menyeret umat saling tidak mempercayai satu dengan yang
lainnya.
Permasalahan rakyat adalah bagian dari
permasalahan agama, mengingat bahwa Indonesia adalah Negara yang dihuni oleh banyaknya
perbedaan agama. Jadi pada pada prinsipnya adanya ideologi khusus masing-masing
agama tidaklah mutlak, karena Agama bukanlah ideolog namun menjadikan Agama
sebagai sumber Ideologi masih dibenarkan. Untuk itu tingkat kebutuhannya pun
bisa perlu bisa tidak dan bahkan bisa naïf. Yang pokok adalah Agama merupakan
nafas pribadi. Kumpulan pribadi-pribadi yang menganut suatu agama sebagai
kelompok tersebutlah yang membutuhkan ideologi yang bisa khusus atau meluas
diluar batas anutan agama.
0 comments:
Post a Comment