Monday, November 26, 2012

Jejak Terorisme dalam Bahasa Osama dan Bush

Abdul Munir Mulkhan*

TERORISME, aksi kekerasan yang memandang diri paling beradab dan benar, muncul bersama sejarah kekuasaan dalam peradaban umat manusia. Hendropriyono menengarai adanya gejala gangguan jiwa pada pelaku teror. Aksi terorisme tidak semata berkaitan dengan keyakinan perang suci mencari syahid.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG

Peradaban hegemonik, yang menempatkan suatu bangsa dengan kekuatan ekonomi dan persenjataan paling andal memperluas kontrol atas dinamika kehidupan global, menyuburkan peluang kebangkitan kembali terorisme untuk semua bangsa dan agama. Jika pada masa lalu terorisme berlangsung dalam wilayah dan melibatkan kelompok terbatas, dalam era global terorisme memperluas diri dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Tragedi 11 September 2001 menyebabkan ”demam” terorisme sehingga negara-negara maju membentuk lembaga yang secara khusus menangani aksi-aksi teror (hal 25-39).

Terorisme semakin ruwet ketika dilakukan atas nama peradaban dan modernitas, atas nama demokrasi dan atas nama Tuhan sekaligus. Kompleksitas terorisme tecermin dalam susunan kalimat atau susunan bahasa yang ditulis atau diucapkan pelaku. Struktur bahasa atau kalimat itu mencerminkan sistem keyakinan keagamaan dan ideologi yang dianut dan diyakini pelaku. Bahasa terorisme kemudian menjadi fokus penelitian AM Hendropriyono untuk memperoleh gelar doktor di bidang filsafat.

Latar belakang penulis, mantan petinggi militer yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), membuatnya dengan enteng menyebut pelaku teror sebagai sesat pikir. Suasana kejiwaan Osama bin Laden dan George Walker Bush ditempatkan sebagai representasi fundamentalisme Islam dan Kristen, merupakan fokus kajian buku ini. Teori language games Wittgenstein dipakai untuk mengkaji pernyataan kedua tokoh dan membedah keyakinan, ideologi, dan keterbelahan kepribadian (hal 20-21, 247). Pelaku mengacu Tuhan untuk melakukan kejahatan, berdoa mengharap keridaan-Nya, sekaligus mengancam menghancurkan ciptaan-Nya. Keterbelahan pribadi dan kegalatan (ketidakteraturan) itu terlihat dalam struktur dan gaya bahasa berdoa dan mengancam yang berbeda tetapi tersusun dalam satu ungkapan (hal 434). Dijelaskan bahwa pelaku teror mengalami kesesatan epistemologis sehingga bersikap tidak rasional. Demokrasi dipaksakan dengan kekuatan militer dengan korban warga sipil: anak-anak, perempuan, dan mereka yang tidak tahu apa-apa. Bush berucap, ”... the US will promote moderation and tolerance and human rights… will lead the world to safety, security, peace, and freedom.” (hal 307), saat lain berkata, ”… ini adalah suatu bangsa yang tidak pernah berkedip dari peperangan….” (hal 327). Sementara Osama terus berjihad dengan sasaran orang-orang Yahudi dan Amerika di mana saja berada, ”... some terrorism is blessed.... We practice the good terrorism which stops them killing our children….” (hal 318).

Terorisme dan ideologi

Apakah terorisme? Buku ini menjelaskan pengertian terorisme secara kefilsafatan sebagai tindak kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apa pun karena kebenaran terletak dalam dirinya sendiri. Keberadaan terorisme bagai unslaying hydra, hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati, seperti Candabirawa, jin piaraan Raden Narasoma (hal 432). Secara teoretis, terorisme sebagai perang terbuka inkonvensional atau gerilya yang lahir dari kegalatan pikiran dan kepribadian pelaku yang bermasalah, menciptakan ketakutan publik atau simpati membuta pendukungnya (hal 34).

Terorisme dipandang sebagai perlawanan atas perlakuan tidak adil dan zalim negeri beradab dan demokratis atas bangsa-bangsa berkembang. Di satu sisi, Amerika dan dunia Barat membela martabat peradaban dan kemanusiaan dengan perang. Di sisi lain, perang suci dilakukan untuk melawan kezaliman atas nama martabat kemanusiaan mewakili kehendak Tuhan (hal 192, 327).

Dari penelusuran Hendropriyono, ditemukan terorisme bisa berakar dari sistem pemahaman keagamaan semua agama yang harfiah (tekstual), seperti Wahabi atau Salafi yang melahirkan ideologi anti-Barat, Yahudi, Kristen, dan Amerika. Hal itu terlihat pada diri Osama dan kelompok Afganistan-nya (hal 8, 189, dan 393). Fundamentalisme Kristen berkaitan dengan ideologi neoimperialis yang diperankan Bush sebagai kelanjutan keberhasilan industrialisasi dengan ekses kehampaan jiwa seperti peran Bush (hal 159). Fundamentalisme Katolik dibangun dari penolakan atas modernitas dengan menempatkan Paus sebagai simbol kesempurnaan. Sementara fundamentalisme Yahudi berbasis keyakinan atas Palestina sebagai tanah keberkatan, satu-satunya yang dihadirkan Tuhan untuk kaum Yahudi dengan Zionis-nya (hal 161).

Ini adalah buku pertama yang terbit di Indonesia yang mengupas terorisme dengan fokus dua tokoh utama, seolah mewakili peradaban Timur dan Barat. Kehidupan dunia global terbelah ke dalam dua kekuatan ekstrem. Islam, di satu sisi, dan Barat yang Yahudi dan Kristen, di sisi lain, yang saling menghancurkan seolah membenarkan tesis Huntington tentang benturan peradaban.

Habitat terorisme

Ajaran agama-agama yang disusun pada saat kekerasan mendominasi kehidupan dapat membuat tradisi keagamaan sebagai habitat terorisme. Kehendak Tuhan diklaim sepihak dengan menempatkan pihak lain sebagai pembangkang yang karenanya bisa diperlakukan sebagai makhluk tanpa status. Cara pandang ini diurai Hendropriyono yang bisa membuat kelompok keagamaan garis keras, yang kadang menyebut diri sebagai penganut Wahabi atau Ikhwanul Muslimin (hal 394), merah telinga.

Penulis juga membahas beberapa kelompok Muslim yang selama ini dikenal memiliki pemahaman yang cenderung harfiah, seperti Wahabi, Salafi, dan Ikhwanul Muslimin (hal 165). Dalam pengantarnya, Zuhairi Misrawi menyebut Wahabisme sebagai paham yang bisa menjadi habitat teorisme melahirkan pengantin-pengantin bom bunuh diri (hal xix). Penyebutan beberapa kelompok itu bisa menimbulkan salah paham, tetapi buku ini memang layak dibaca dan dicermati mereka yang selama ini dikenal sebagai mayoritas bisu (silent mayority).

Mayoritas bisu itu perlu membuktikan secara proaktif bahwa penganut Islam lebih pro jalan damai dalam mencapai kehidupan surgawi yang dicita-citakan bermanfaat bagi semua orang dari beragam bangsa dan pemeluk agama, dan yang tidak beragama sekalipun. Dunia beradab menunggu bukti bahwa jalan pedang bukanlah jalan otentik penyebaran Islam. Jihad juga berarti perjuangan menegakkan keadilan dan kebahagiaan semua manusia dari beragam agama dan yang tidak beragama, bukan hanya bagi yang menyatakan memeluk Islam (hal 396).

Bagaimanapun, pemeluk semua agama merindukan kebebasan dan kedamaian memuji dan beribadah kepada Tuhan. Negeri ini mempunyai pengalaman mencari solusi atas perbedaan keyakinan keagamaan dan ideologi dalam mencapai tujuan hidup bersama di bawah formula kebangsaan tanpa mengurangi ruang berjihad di jalan Tuhan yang diyakini. Masalahnya, bagaimana Pancasila menangkal terorisme di Tanah Pertiwi, sebagaimana dahulu mengatasi perbedaan mencapai Indonesia merdeka (hal 362).

Catatan penting yang perlu diberikan pada buku ini ialah kajian terhadap ideologi kekerasan yang bersumber pada keyakinan keagamaan yang terkait dengan paham Wahabi, Salafi, dan Ikhwanul Muslimin kurang luas, tajam, jernih, dan mendalam. Hal itu bisa menimbulkan reaksi tidak sehat dari pihak-pihak yang selama ini menempatkan berbagai ajaran jihad dan sikap eksklusif dari paham itu sebagai sumber rujukan meski tidak secara terbuka mengaku sebagai penganutnya.



* Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Anggota Komnas HAM


Sumber: Kompas, Kamis, 17 Desember 2009    

0 comments:

Post a Comment