Abdul Munir Mulkhan*
TERORISME, aksi kekerasan yang memandang
diri paling beradab dan benar, muncul bersama sejarah kekuasaan dalam
peradaban umat manusia. Hendropriyono menengarai adanya gejala gangguan
jiwa pada pelaku teror. Aksi terorisme tidak semata berkaitan dengan
keyakinan perang suci mencari syahid.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Peradaban
hegemonik, yang menempatkan suatu bangsa dengan kekuatan ekonomi dan
persenjataan paling andal memperluas kontrol atas dinamika kehidupan
global, menyuburkan peluang kebangkitan kembali terorisme untuk semua
bangsa dan agama. Jika pada masa lalu terorisme berlangsung dalam
wilayah dan melibatkan kelompok terbatas, dalam era global terorisme
memperluas diri dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi.
Tragedi 11 September 2001 menyebabkan ”demam” terorisme sehingga
negara-negara maju membentuk lembaga yang secara khusus menangani
aksi-aksi teror (hal 25-39).
Terorisme semakin ruwet ketika
dilakukan atas nama peradaban dan modernitas, atas nama demokrasi dan
atas nama Tuhan sekaligus. Kompleksitas terorisme tecermin dalam susunan
kalimat atau susunan bahasa yang ditulis atau diucapkan pelaku.
Struktur bahasa atau kalimat itu mencerminkan sistem keyakinan keagamaan
dan ideologi yang dianut dan diyakini pelaku. Bahasa terorisme kemudian
menjadi fokus penelitian AM Hendropriyono untuk memperoleh gelar doktor
di bidang filsafat.
Latar belakang penulis, mantan petinggi
militer yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara
(BIN), membuatnya dengan enteng menyebut pelaku teror sebagai sesat
pikir. Suasana kejiwaan Osama bin Laden dan George Walker Bush
ditempatkan sebagai representasi fundamentalisme Islam dan Kristen,
merupakan fokus kajian buku ini. Teori language games Wittgenstein
dipakai untuk mengkaji pernyataan kedua tokoh dan membedah keyakinan,
ideologi, dan keterbelahan kepribadian (hal 20-21, 247). Pelaku mengacu
Tuhan untuk melakukan kejahatan, berdoa mengharap keridaan-Nya,
sekaligus mengancam menghancurkan ciptaan-Nya. Keterbelahan pribadi dan
kegalatan (ketidakteraturan) itu terlihat dalam struktur dan gaya bahasa
berdoa dan mengancam yang berbeda tetapi tersusun dalam satu ungkapan
(hal 434). Dijelaskan bahwa pelaku teror mengalami kesesatan
epistemologis sehingga bersikap tidak rasional. Demokrasi dipaksakan
dengan kekuatan militer dengan korban warga sipil: anak-anak, perempuan,
dan mereka yang tidak tahu apa-apa. Bush berucap, ”... the US will
promote moderation and tolerance and human rights… will lead the world
to safety, security, peace, and freedom.” (hal 307), saat lain berkata,
”… ini adalah suatu bangsa yang tidak pernah berkedip dari peperangan….”
(hal 327). Sementara Osama terus berjihad dengan sasaran orang-orang
Yahudi dan Amerika di mana saja berada, ”... some terrorism is
blessed.... We practice the good terrorism which stops them killing our
children….” (hal 318).
Terorisme dan ideologi
Apakah
terorisme? Buku ini menjelaskan pengertian terorisme secara kefilsafatan
sebagai tindak kejahatan yang tidak tunduk pada aturan apa pun karena
kebenaran terletak dalam dirinya sendiri. Keberadaan terorisme bagai
unslaying hydra, hewan imajiner Yunani yang tak pernah mati, seperti
Candabirawa, jin piaraan Raden Narasoma (hal 432). Secara teoretis,
terorisme sebagai perang terbuka inkonvensional atau gerilya yang lahir
dari kegalatan pikiran dan kepribadian pelaku yang bermasalah,
menciptakan ketakutan publik atau simpati membuta pendukungnya (hal 34).
Terorisme
dipandang sebagai perlawanan atas perlakuan tidak adil dan zalim negeri
beradab dan demokratis atas bangsa-bangsa berkembang. Di satu sisi,
Amerika dan dunia Barat membela martabat peradaban dan kemanusiaan
dengan perang. Di sisi lain, perang suci dilakukan untuk melawan
kezaliman atas nama martabat kemanusiaan mewakili kehendak Tuhan (hal
192, 327).
Dari penelusuran Hendropriyono, ditemukan terorisme
bisa berakar dari sistem pemahaman keagamaan semua agama yang harfiah
(tekstual), seperti Wahabi atau Salafi yang melahirkan ideologi
anti-Barat, Yahudi, Kristen, dan Amerika. Hal itu terlihat pada diri
Osama dan kelompok Afganistan-nya (hal 8, 189, dan 393). Fundamentalisme
Kristen berkaitan dengan ideologi neoimperialis yang diperankan Bush
sebagai kelanjutan keberhasilan industrialisasi dengan ekses kehampaan
jiwa seperti peran Bush (hal 159). Fundamentalisme Katolik dibangun dari
penolakan atas modernitas dengan menempatkan Paus sebagai simbol
kesempurnaan. Sementara fundamentalisme Yahudi berbasis keyakinan atas
Palestina sebagai tanah keberkatan, satu-satunya yang dihadirkan Tuhan
untuk kaum Yahudi dengan Zionis-nya (hal 161).
Ini adalah buku
pertama yang terbit di Indonesia yang mengupas terorisme dengan fokus
dua tokoh utama, seolah mewakili peradaban Timur dan Barat. Kehidupan
dunia global terbelah ke dalam dua kekuatan ekstrem. Islam, di satu
sisi, dan Barat yang Yahudi dan Kristen, di sisi lain, yang saling
menghancurkan seolah membenarkan tesis Huntington tentang benturan
peradaban.
Habitat terorisme
Ajaran agama-agama yang
disusun pada saat kekerasan mendominasi kehidupan dapat membuat tradisi
keagamaan sebagai habitat terorisme. Kehendak Tuhan diklaim sepihak
dengan menempatkan pihak lain sebagai pembangkang yang karenanya bisa
diperlakukan sebagai makhluk tanpa status. Cara pandang ini diurai
Hendropriyono yang bisa membuat kelompok keagamaan garis keras, yang
kadang menyebut diri sebagai penganut Wahabi atau Ikhwanul Muslimin (hal
394), merah telinga.
Penulis juga membahas beberapa kelompok
Muslim yang selama ini dikenal memiliki pemahaman yang cenderung
harfiah, seperti Wahabi, Salafi, dan Ikhwanul Muslimin (hal 165). Dalam
pengantarnya, Zuhairi Misrawi menyebut Wahabisme sebagai paham yang bisa
menjadi habitat teorisme melahirkan pengantin-pengantin bom bunuh diri
(hal xix). Penyebutan beberapa kelompok itu bisa menimbulkan salah
paham, tetapi buku ini memang layak dibaca dan dicermati mereka yang
selama ini dikenal sebagai mayoritas bisu (silent mayority).
Mayoritas
bisu itu perlu membuktikan secara proaktif bahwa penganut Islam lebih
pro jalan damai dalam mencapai kehidupan surgawi yang dicita-citakan
bermanfaat bagi semua orang dari beragam bangsa dan pemeluk agama, dan
yang tidak beragama sekalipun. Dunia beradab menunggu bukti bahwa jalan
pedang bukanlah jalan otentik penyebaran Islam. Jihad juga berarti
perjuangan menegakkan keadilan dan kebahagiaan semua manusia dari
beragam agama dan yang tidak beragama, bukan hanya bagi yang menyatakan
memeluk Islam (hal 396).
Bagaimanapun, pemeluk semua agama
merindukan kebebasan dan kedamaian memuji dan beribadah kepada Tuhan.
Negeri ini mempunyai pengalaman mencari solusi atas perbedaan keyakinan
keagamaan dan ideologi dalam mencapai tujuan hidup bersama di bawah
formula kebangsaan tanpa mengurangi ruang berjihad di jalan Tuhan yang
diyakini. Masalahnya, bagaimana Pancasila menangkal terorisme di Tanah
Pertiwi, sebagaimana dahulu mengatasi perbedaan mencapai Indonesia
merdeka (hal 362).
Catatan penting yang perlu diberikan pada buku
ini ialah kajian terhadap ideologi kekerasan yang bersumber pada
keyakinan keagamaan yang terkait dengan paham Wahabi, Salafi, dan
Ikhwanul Muslimin kurang luas, tajam, jernih, dan mendalam. Hal itu bisa
menimbulkan reaksi tidak sehat dari pihak-pihak yang selama ini
menempatkan berbagai ajaran jihad dan sikap eksklusif dari paham itu
sebagai sumber rujukan meski tidak secara terbuka mengaku sebagai
penganutnya.
* Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; Anggota Komnas HAM
Sumber: Kompas, Kamis, 17 Desember 2009
Monday, November 26, 2012
Jejak Terorisme dalam Bahasa Osama dan Bush
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment