Monday, November 26, 2012

Mereka Bilang Kita Orang Indonesia: Desain Kebudayaan Nusantara


Peresensi: Ecep Heryadi
Penyusun  : Giat Wahyudi
Pengantar : Guruh Sukarno Putra
Penerbit    : Taman Mini Indonesia Indah
Edisi         : Cetakan I, 2010
Tebal        : 327 halaman
Mayoritas bangsa ini, secara umum, telah mengalami degradasi nilai-nilai kecintaan dalam bentuk patriotisme, kepahlawanan dan kebangsaan.

Tak hanya gerusan arus budaya asing yang menjadi sebab, melainkan kesadaran kolektif yang membentuk aras kesadaran bernegara kita—khususnya kaum muda—yang tak bangga lagi menyanyikan “Indonesia Raya” sebagai pemersatu bangsa, atau “berjiwa merah putih” sebagai personifikasi dari kecintaan akan tanah air.
Jika demikian, alangkah baiknya jika kita kembali melakukan permenungan mendalam akan nasib eksistensi bangsa kita ke depan, yang secara menyedihkan sudah banyak ditanggalkan justru oleh kaum penerusnya sendiri. Sepatutnya jika kita membuka lembar-lembar historisitas yang mampu mentrigger semangat kebangsaan dan kegotongroyongan, sebagaimana pernah ditekankan oleh Presiden Soeharto tatkala meresmikan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) medio 70-an. Iya, TMII tak hanya lantas dipandang sebagai suatu area pariwisata semata, namun disegenap bangunan-bangunannya tersimpan rapi memori kolektif bangsa ini yang sarat akan kebanggaan.
Sejatinya, apresiasi mendalam patut diberikan kepada Giat Wahyudi yang kembali merangkai bunga rampai mengenai kebudayaan dan perkembangannya, yang sejatinya bertumpu pada jati diri bangsa: nilai-nilai kegotong-royongan. Memang tepat buku ini lantas diberikan judul Mereka Bilang Kita Orang Indonesia: Desain Kebudayaan Nusantara, yang meski “Indonesia” merupakan hasil penamaan bukan oleh orang Indonesia, menyimpan etos dan spiritisme kesatuan budaya dan multietnisitas sehingga terangkum dalam keindonesiaan kita.
Maksud dari disusunnya buku ini, yang salah satunya dipelopori oleh Ade F. Meyliala, Direktur Operasional TMII, yakni ditujukan untuk menggugah kecintaan segenap anak bangsa, walau berbagai problem berbangsa dan kohesifitas sosial masih urung dipetik. Sebuah upaya yang patut diberikan penghargaan.
Substansinya, buku ini tersusun dari tiga bagian yang totalnya terdiri dari 30 bab. Bagian pertama (terdiri dari enam bab), berisi ihwal narasi kebudayaan yang membentangkan tiga aspek yakni geografis, sosial, dan budaya negeri ini yang berada di “perempatan” lalu lintas internasional. Sebab itu, proses asimilasi budaya tak bisa dielakkan. Tokoh-tokoh untuk mengulas hal inipun dihadirkan dalam kodifikasi bunga rampainya, semisal, Franz Magnis Suseno, AB. Lapian, Denys Lombard, Abdurrahman Apatji, Mun’in DZ.
Bagian keduanya, menampilkan secercah pemikiran lepas para pemikir, intelektual dan budayawan untuk berbicara mengenai kebhinekaan dan cinta tanah air. Bagian penutup, sebenarnya menjadi esensi pentingnya, yakni berkenaan dengan pembahasan mengenai hakikat dibangunnya TMII sebagai lokasi wisata budaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemajuan berbudaya bangsa Indonesia.
Buku ini layak dibaca ditengah krisis kesadaran berbudaya yang kian hari, kian menuju titik nadir.
Penulis adalah Analis Politik UIN Jakarta, Peneliti di International Studies for Peace, Prosperity and Democracy (ISEAC) Jakarta

0 comments:

Post a Comment