Sunday, October 28, 2012

ANOMALI DUNIA KAMPUS DAN MASA DEPAN BANGSA


Oleh    : Ahmad Erlangga Ferdianto
Mahasiswa Diploma Hubungan Masyarakat Fisip Unila
“ Sebagai mahasiswa dari negara dan rakyat yang sedang berbenah, saudara-saudara tidak bisa, melepaskan diri dari pergolakan dan gejolaknya perubahan tersebut, dan menempatkan anda pada posisi tertentu, suatu posisi yang padanya terletak suatu beban yang kita kenal sebagai Amanat Penderitaan Rakyat.” (Prof. Ruslan Abdhul Ghani:1964).

Pernyataan seperti komitmen, concern terhadap persoalan keumatan, sebanarnya sangat populis ditelinga kalangan mahasiswa. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari keberadaan mahasiswa sebagai orang yang dikenal dengan sebutan agent of modernization, agent of social change, dan the creative minority.
Sebagai seorang yang mendapat predikat seperti diatas, mahasiswa memegang tanggung jawab yang tidak ringan. Dia harus menunjukkan wajah yang beda dibandingkan orang yang tidak menyandang gelar seperti itu. Persoalannya adalah, apakah masih relevan sebutan atau predikat tersebut melekat kepada mahasiswa, yang kerjanya plagiat/fotocopy budaya, tawuran, atau yang lebih ekstrim menginfiltrasi ‘ideologi titipan’. Ideologi titipan yang dimaksud adalah memperjuangkan sebuah ideologi namun bukan berasal dari hasil cipta karsa sendiri, melainkan domplengan suatu oknum atau komunitas tertentu, yang tidak ada sangkut paut dengan dunia kemahasiswaan.
Fakta tersebut tidaklah boleh kita menyalahkan salah satu pihak saja karena bagaimanapun mahasiswa adalah produk pendidikan bangsa. Karena pendidikan bangsa itu sebuah sistem, antarvariabel saling terkait, baik itu sistem pengajarannya, pendidikannya, atau pun sistem politik yang berlaku dalam sebuah negara. Mungkin saja dunia pendidikan kita akan berhasil, itupun jika kita siap dalam segala hal. Kalau hanya sebagian, idealisme dicanagkan sebagai cita-cita pendidikan, itu hanya akan menjadi pepesan kosong atau utopis.
Bukti-bukti kegagalan dunia pendidikan kita adalah terjadinya pemindahan skripsi karya orang lain dengan rangkaian kata-kata menjadi sebuah skripsi baru. Ada juga kebijakan Perguruan Tinggi yang memberikan kesempatan mahasiswa untuk segera menyelesaikan studinya, pertanyaannya adalah bagaimana dengan kualitas mahasiswa tersebut? Naif sekali memang, sebuah negara yang sedang berbenah untuk meningkatkan taraf kualitas pendidikannya hal demikian dilakukan, lebih-lebih kebanyakan hal tersebut dilakukan oleh inisiatif mahasiswanya.
Tetapi apakah kejadian tersebut tidak terjadi dikalangan pejabat pemerintah? Pada hemat saya, itu terjadi juga, seperti kasus uang pelicin, agar mendapatkan gelar sarjananya tanpa mengeluarkan banyak waktu duduk diam dalam kelas. Adalagi uang pelicin dalam penerimaan pegawai, itu sedikit dari banyak rentetan kasus yang sudah menjadi rahasia umum dan sangat memilukan yang terjadi di negara ini dan dianggap wajar oleh banyak kalangan.
Karena kondisinya sudah demikian mendukung dan kondusif untuk bertindak demikian, tak ayal kalangan elit mahasiswa melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang mendapatkan sebutan hebat diatas. Memang, kesalahan tidak semua ditimpakan kepada kalangan mahasiswa. Namun, kenyataannya sekarang, yang banyak menjadi aktor adalah mahasiswa yang mendapatkan gelar macam-macam tersebut. Jika memang gelar tersebut sudah tidak relevan, kemudian apa kiranya gelar yang pantas disandang oleh mahasiswa saat ini.
Citra mahasiswa saat ini memang tengah merosot keberadaannya dimata masyarakat. Hal ini menjadi tanggung jawab kita semua (red. mahasiswa) untuk mengembalikan citra yang baik tersebut. Hanya saja, mengembalikan keadaan yang sudah ‘rusak’ memang tidak semudah mengedipkan mata, dan membutuhkan waktu yang lama. Pekerjaan ini sebenarnya bisa dilakukan kalau kita sebagai orang yang menyandang “gelar” agent of modernization dapat menempatkan prinsip modern sesuai pada tempatnya.
Untuk saat ini saja, penafsiran dikalangan mahasiswa terkait modern masih menjadi debat kusir yang panjang. Dan jeleknya, mahasiswa menafsirkan modern itu sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya. Penafsiran tersebut sangat fatal akibatnya. Mahasiswa tidak lagi dapat dipercaya sebagai agen perubahan, agen modernisasi di mata masyarakat namun lebih sering disebut oknum perusak masyarakat. Jika sudah demikian keadaannya jelas bukan hanya memprihatinkan bagi keadaan mahasiswa namun juga bagi kelangsungan bangsa dan negara dimasa yang akan datang.
Namun demikian, fenomena tersebut merupakan bentuk akumulasi atas kejadian-kejadian masa lampau yang dialami oleh kalangan mahasiswa. Mahasiswa memang senyatanya memiliki beban sejarah yang amat berat dan mau tidak mau mesti dipikul. Persoalannya adalah, mahasiswa hari ini dihadapkan dengan perubahan kondisi yang begitu cepat datangnya. Reformasi ’98 mengakibatkan mahasiswa gagap menerima perubahan iklim politik, demikian pula dengan transformasi budaya yang tidak terbendung dan mengakibatkan kalangan elit mahasiswa tergerus didalamnya. Seperti yang disampaikan oleh Dr. Amien Ra’is bahwa, gerakan mahasiswa yang dulu bersemangat sekarang mati suri. Gairah gerakan mahasiswa tergantikan dengan semangat hidup bermewah-mewahan akibat kapitalisme.
Dengan kata lain, mahasiswa hari ini dibesarkan oleh komponen-komponen budaya barat. Namun disatu sisi, kita tidak menapikkan kondisi masyarakat yang terengah-engah akibat krisisi multi dimensional. Hal ini memicu Kejahatan dan kekacauan sosial yang semakin meningkat. Ivan Illich (Menggugat Kaum Kapitalis: 1978), mengatakan bahwa modernisme mengharuskan manusia untuk berprilaku kompetitif. Relevansi ini kemudian memunculkan sebuah reaksi, salah satunya adalah pergeseran nilai budaya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dengan kehidupan kampus.
Peran Perguruan Tinggi dan beban mahasiswa
Dalam hal ini lah kemudian pertanyaannya, apa peran Perguruan Tinggi dan mahasiswa didalamnya, dalam upaya menata kembali masa depan bangsa?Perguruan tinggi mestilah mampu menjadi kawahcandradimuka bagi mahasiswa-mahasiswa yang ditempa untuk menjadi generasi yang mapan dalam melanjutkan cita-cita negara. Dengan kata lain, perguruan tinggi mesti menekankan kualitas pendidikan baik teori maupun praktek, agar setelah menjadi sarjana, mereka tidak gagap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi didunia luar. Bukan hanya menekankan untuk segera lulus, dan setelah lulus mereka seperti anak ayam kehilangan induk. Inilah faktor mengapa sampai dengan saat ini banyak dinegeri ini ‘sarjana nganggur’. Seperti yang disampaikan oleh Prof.Ruslan Abdulgani dalm bukunya (Tunas Bangsa:1961), Perguruan Tinggi sudah semestinya  berjalan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan sebaliknya.
Selanjutnya, mahasiswa sebagai agen amanat penderitaan rakyat, sekaligus aktor yang akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa dimasa yang akan datang. Sepatutnya memanfaatkan waktu mudanya untuk meningkatkan taraf kualitas diri, agar kemudian layak untuk melanjutkan cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Sudahi pertarungan ideologi yang hanya merusak dan apalagi memperjuangkan ‘ideologi titipan’ yang menguntungkan kelompok elit tertentu. Bagaimanapun bentuknya penyaluran aspirasi disahkan dinegara demokrasi, namun jangan kemudian dengan menggunakan jargon mahasiswa untuk melakukan tindakan anarkis, apalagi sampai merusak fasilitas umum. Bukahkah fasilitas itu dibuat menggunakan uang rakyat juga?

0 comments:

Post a Comment